Hei, Kawan Lama!

Kepada Jakarta.

Hei, kawan lamaku. Apa kabar kamu? Ah aku pakai basa-basi segala, jelas-jelas aku sudah mengetahui kau sedang tidak baik-baik saja. Aku sedih dan miris mendengarnya, tatkala beberapa minggu lalu pemberitaan di televisi selalu menayangkanmu yang sedang sakit. Ya, kau sudah lama sakit. Bahkan sebelum republik ini berdiri pun kau sudah terjangkit penyakit tahunan. Tapi rasa-rasa beberapa tahun terakhir penyakitmu justru semakin parah. Aku menyayangimu, sekalipun kini aku tengah berada di tanah rantau. Aku menyayangimu teman.

Kau ingat, dua puluh tahun lalu, saat usiaku masih tujuh tahun. Kita sering bermain bersama. Di tanahmu yang masih lapang, entah itu bermain layang-layang kala kemarau datang atau bermain sepakbola saat musim penghujan tiba. Aku masih ingat benar wangi lumpur-mu dari sawah-sawah di belakang rumah, aku masih ingat saat arus kali masih begitu deras dan bening airnya masih bisa digunakan untuk mencuci pakaian. Aku masih ingat teman, pohon di tengah persawahan tempat aku dan teman-teman lainnya bermain ayunan.

Ah, kini semua telah berganti. Tanah lapang itu kini menjadi padang Real Estate. Wangi lumpur sawah-mu tak lagi seharum dulu, kini lebih menyeruak aroma materialistis yang lebih busuk dari bau-bau selokanmu yang mampet. Kali-kali mu sudah bukan lagi tempat kanak-kanak melepas penat saat selesai bersekolah. Dan pohon di tengah sawah itu, kini yang kujumpai hanya sebuah prasasti tentang kehilangan, kehilangan engkau teman lamaku.

Kau tak salah, mungkin aku yang salah menilaimu. Aku sudah hampir sepuluh tahun di tanah rantau ini, dan tak secara langsung mengamati pertumbuhanmu menjadi kota yang dewasa dan matang. Dan saat menjejak tanahmu lagi tempo hari, aku menjadi orang asing bagi teman lamaku. Mall di sisi kanan-kiriku mungkin sudah seperti tanah lapang tempat bermainku dulu bagi anak-anak sekarang. Kau tak salah, teman. Kau memang harus berubah, berkembang mengikuti perubahan jaman. Mungkin aku saja yang belum atau tak terbiasa dengan perubahanmu. Namun dari semua itu aku tetap menyayangimu, teman.

Dari tanah rantau, Semarang, aku menitipkan harap padamu Jakarta. Semoga kau lekas sehat. Percuma kau tumbuh semakin cantik, jika tetap dirundung sakit.

Catur Indrawan

2 thoughts on “Hei, Kawan Lama!

  1. [DULU] “Di tanahmu yang masih lapang, entah itu bermain layang-layang kala kemarau datang atau bermain sepakbola saat musim penghujan tiba. Aku masih ingat benar wangi lumpur-mu dari sawah-sawah di belakang rumah, aku masih ingat saat arus kali masih begitu deras dan bening airnya masih bisa digunakan untuk mencuci pakaian.”

    [KINI] “Tanah lapang itu kini menjadi padang Real Estate. Wangi lumpur sawah-mu tak lagi seharum dulu, kini lebih menyeruak aroma materialistis yang lebih busuk dari bau-bau selokanmu yang mampet. Kali-kali mu sudah bukan lagi tempat kanak-kanak melepas penat saat selesai bersekolah.”

    sebuah ironi; atau keniscayaan yg juga akan dialami ‘kampung halaman’ kita semua nantinya? perubahan adalah satu-satunya hal yg tidak pernah berubah bukan? Ah, setidaknya kita masih bisa mengenang, meski merasa kehilangan 😉

Tinggalkan komentar