Perihal Waktu

:iedateddy

Waktu berparuh di antara suara dan hening yang mengalun di udara. Titik samar kenang kadang kala mampu membawa kita pada hal-hal purba.

Waktu bergeliat di antara diam dan gerak, dua pasang sepatu saling ditenggelamkan cahaya lampu kota yang membawa sejumput rindu. Tapi kali ini rindu hanya angin malam, tak perlu ditakutkan tuk mengatakan cintaku adalah kamu, dalam titik samar terang dan dalam diam gerak.

Semarang , 25 Mei 2016

Kasih Tak Sampai

“Kamu mau kemana? Ke tempat ramai atau sepi? Ke pantai atau pasar malam? Kamu mau kemana?”

Itulah yang kerap ditanyakan Radit saat mendapati mataku merah menahan genang air mata yang nyaris tumpah. Dan seperti biasa, aku hanya terdiam, mematut diri. Lalu adegan selanjutnya Radit akan memeluk tubuh mungilku. Seketika hangat menjalari relung-relung hatiku. Aku bisa merasakan derap-degub jantung Radit yang tak beraturan, pun mungkin sama dengan Radit yang merasai derap-degub jantungku.

Ah, tapi semua itu cerita lalu yang masih saja didongengkan senja ke pucuk puncak ingatanku. Radit telah menjelma jadi kenangan. Entahlah aku harus menafsirkannya sebagai kenangan manis atau pahit. Semua sama saja, melahirkan butir-butir air mata yang kubiarkan terjatuh dan disaksikan lembayung senja.

Radit terlampau muda untuk menemuiNya kembali. Yah, walaupun Radit pernah berkata, tak ada yang terlampau muda untuk mati. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk mengatakan aku mencintainya. Aku mencintainya. Aku mencintainya.

Sekarang, kalau Radit ada di sampingku dan mendapati aku menangis, lalu mulai bertanya lagi pertanyaan yang dulu begitu membosankan terdengar di telingaku. Aku akan menjawab, “aku ingin selalu bersamamu ke manapun kamu pergi.”

Selangkah lagi aku menemuinya, sebelum akhirnya wajah Radit yang murung melintas di ingatanku, lalu menarikku menjauhi tubir rooftop gedung berlantai 41.

Bukankah Radit ingin selalu aku baik-baik saja?