Sesuatu yang Harus Dituntaskan atau Dientaskan

Kepada perempuan kesayanganku,

Nyaris 30 hari aku tak bersentuhan dengan imaji. Tubuhku berjarak pada kata-kata, pada metafora, pada aksara-aksara yang berbunyi; yang tak jarang meninabobokan segenap rindu padamu yang selalu kumat. Nyaris satu bulan, aku jadi lelaki asing yang terjerembab lalu tersesat di dalam tulisan yang urung kuselesaikan. Sampai akhirnya tangan mungilmu membawa kembali diriku ke tempat-tempat yang pernah coba aku asingkan dari ingatanku: Awan merah jambu, senja ungu, stasiun tua, taman-taman cahaya. Tempat-tempat yang coba aku asingkan dan ternyata justru menjadikanku lelaki asing bagi kata-kataku sendiri, kata-kata yang sebetulnya tumbuh dari tempat-tempat itu.

Tangan mungilmu yang kembali membawaku ke tempat-tempat yang pernah coba aku asingkan dari ingatanku, tak lain adalah sebentuk sulur-sulur semangat dan asa; Sesuatu yang kerap selalu aku temukan di dalam tubuhmu. Nyaris 30 hari aku tak bersentuhan dengan sesuatu yang kujaga dalam anganku. Bagaimana bisa menepikanmu, sementara tanpamu, aku senja yang kehilangan ufuk; puisi yang kehilangan huruf. Kataku pada diriku sendiri, nyaris satu bulan yang lalu. Dan benar saja aku memang tak bisa menepikanmu, aku ingin kau bersamaku dalam pelayaran ini. Sungguh aku ingin kau.

Menekuri senja yang nyaris jatuh, dan malam yang mulai berdiri, aku menyadari kesementaraan itu yang membuat hidup menjadi bermakna. Jika senja tak sesingkat saat ini, jika senja hadir dan tak pernah pergi lagi, apakah senja akan seindah yang kerap diserap mata penyair? Aku menyadari hal itu ketika membaca novel ‘Cinta.’ milik Bernard Batubara. Kau tahu setelah mengetahui hal itu, aku seperti menemukan kebahagiaanku lagi, kebahagiaan seorang yang mencintai tanpa perlu kaubalas cintanya. Aku ingin jadi senja untukmu, aku tak ingin lagi jadikanmu sampan atau cadik yang tak jadi kutepikan. Benar, aku menginginkan kau, tapi bukan untuk selamanya. Aku tak pernah siap untuk jadi selamanya, jika hal itu tak membahagiakanmu.

Selain tangan mungilmu, tahukah kau, bahwa aku pun mengagumi matamu, menyukai matamu? Bukan, perlu kugaris-bawahi, bukan karena matamu yang indah, yang maniknya serupa batu permata, hiasan para Permaisuri. Tetapi karena matamu yang telah banyak memandang dan menyerap warna-warni dunia yang belum pernah aku lihat. Pun aku menyukai bibirmu, tahukah kau? Aku selalu mudah jatuh hati pada wanita yang pandai menulis, daripada pandai bicara. Aku menyukai bibirmu, di sana, diam mendapatkan tempat terbaik. Dan, ah, senyummu, untuk hal ini aku tak perlu memberitahumu karena aku yakin kau tahu apa yang selalu membuatku tersenyum-senyum dan di saat bersamaan menangis lirih: senyummu yang tak pernah benar-benar menjadi milikku.

Nyaris 30 hari sudah, aku berjarak dengan kata-kataku sendiri. Ada yang terasa aneh dan begitu mendesak-desak dalam benak yang harus segera dituntaskan atau mungkin juga dientaskan. Kerinduanku menuliskan kau.

Tinggalkan komentar