Aku lihat kau di temaram purnama, di antara dedaun cemara yang meranggas, menunaikan rindunya pada bumi; di antara sinaran lentera yang nyaris letih berpijar. Di mana gerangan kau simpan kerling indah itu?
Dan kini tahun pun kian menua, mimpi-mimpiku pun tak lagi muda, namun harus kau percayai musim-musim tak pernah mampu menyentuh rupa wajah cintaku.
Kau adalah senandung yang dilantunkan malam pada sepi-sepiku. Melambungkan khayal ke tepian nirwana. Meski tak tergapai nyata, tak tersentuh raga, tetes-tetes embun membuatku percaya sejukmu lebih nyata dari deretan-deretan aksara maya yang diucapkan para pujangga.
Biarkan aku tetap mempercayai menunggumu adalah sepenggal takdir yang belum menemukan episode akhir, Dewi.
Dalam taman surgamu, di antara sungai-sungai madu: Cinta ini tak seperti musim yang bersemi untuk menemukan ranggas, yang kering untuk menghadirkan basah. Walau kelak alunan waktu dan lantunan lirih malam pada sepi-sepi maha tinggi terhenti; hidupku akan abadi di dalam malam-malammu, pada sepi-sepimu, di antara musim-musimmu.
Dewi…