Menanti Lamaran

PAGI di akhir pekan, suasana rumah kami sudah sedemikian ramai dan sibuk. Berbagai orang sudah mendapat tugasnya masing-masing, ada yang mempersiapkan panganan, ada yang mempersiapkan tenda serta kursi, ada pula yang sibuk meriasku, Mbak Citra, dan Mamah.

Kesibukan ini karena lelaki itu akan datang ke rumah kami dengan membawa seluruh sanak keluarganya. Aku mengenal lelaki ini lebih kurang empat tahun lalu, dikenalkan oleh Mbak Citra. Namanya Mas Panji. Ah, dari namanya saja sudah terdengar gagah bukan? Ya, Mas Panji tidak hanya gagah dan tampan, ia juga baik sekali pada keluarga kami, khususnya aku. Tiap datang ke rumah tak jarang ia membawakan sate padang kesukaanku, atau di lain hari ia juga sering membawakan se-toples choco ball dan es krim kegemaranku.

Perias sudah menyelesaikan tugasnya merias wajahku. Aku menatap tak percaya, wajah di balik cermin itu aku. Cantik, ah lebih cantik dari Mbak Citra. Beberapa jenak kemudian aku membayangkan wajah Mas Panji yang melirikku, duh…. Aku suka dengan tatapan Mas Panji yang bisa membuatku membeku.

“Citra, Laras, ayo ke ruang tamu! Acara lamarannya mau dimulai,” perintah Mamah.

Suara tanjidor beserta tetabuhan marawis menghentakan dadaku. Semakin dekat suara itu menuju rumah kami, dadaku makin berdetak kencang. Dari kejauhan lelaki itu datang dengan membawa serombongan keluarganya dan berbagai oleh-oleh. Sesaat kemudian ia telah sampai di depan pintu rumah kami, dan duduk tepat di hadapanku. Agak sedikit cemburu tatkala yang ia tatap dan beri senyum justru Mbak Citra, bukankah aku yang lebih cantik dari Mbak Citra? Tadi Mamah, perias, dan orang-orang yang membantu kami mengakui bahwa aku lebih cantik dari Mbak Citra. Ah, Mas Panji!

“Kedatangan kami ke rumah Bapak Sastrowaluyo dan Ibu Anggraini tidak lain dan tidak bukan ingin melamar anak Bapak serta Ibu untuk Adik kami, Ananda Panji Satrio Abimanyu. Apakah Bapak dan Ibu mengizinkan?” ucap salah seorang kakak Mas Panji.

“Aku mau, izinkan ya, Pah!” celetukku, dibarengi tawa renyah dari tamu-tamu yang datang.
“Laras! Diam sebentar!” hardik Mbak Citra.
“Tapi aku mau…” gumamku, tertelan suara dari speaker.

Aku menatap dalam-dalam Mas Panji, dengan setelan seragam TNI-nya ia terlihat lebih gagah.

“Mah, nanti aku mau punya Suami kayak Mas Panji ya, Mah.”
Halah, kowe nduk, isih suwi. SD wae durung rampung,” sahut Mamah.

Kuabaikan ucapan Mamah barusan, karena di saat bersamaan Mas Panji akhirnya menjatuhkan pandangannya dan senyumnya ke arahku. Pipiku bersemu merah muda.

Tinggalkan komentar